konsep makasid Al-syari’ah dan Al-Maslahah

Konsep Makasid Al-Syari’ah dan Al-Maslahah

Dalam Hukum Islam

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Sosiologi Hukum Islam

Dosen Pengampu: M. Khoirur Rofiq. SHI.

By :

Muhaimin

Tri Molyo Agbaora

Nur Widayat

JURUSAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NAWAWI

PURWOREJO

2015

  1. PENDAHULUAN

Tujuan penetapan hukum atau yang sering dikenal dengan istilah Maqashid al-syari’ah merupakan salah satu konsep penting dalam kajian hukum Islam. Karena begitu pentingnya maqashid al-syari’ah tersebut, para ahli teori hukum menjadikan maqashid al-syari’ah sebagai sesuatu yang harus dipahami oleh mujtahid yang melakukan ijtihad. Adapun inti dari teori maqashid al-syari’ah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak madharat. Istilah yang sepadan dengan inti dari maqashid al-syari’ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat.

Maslahat adalah satu term yang populer dalam kajian mengenai hukum Islam. Hal tersebut disebabkan maslahat merupakan tujuan syara’ (maqâshid as-syarî’ah) dari ditetapkannya hukum Islam. Maslahat di sini berarti ijalb al-manfa’ah wa daf’ al-mafsadah (menarik kemanfaatan dan menolak kemudaratan).Meski demikian, keberadaan maslahat sebagai bagian tak terpisahkan dalam hukum Islam tetap menghadirkan banyak polemik danperbedaan pendapat di kalangan ulama’, baik sejak Ushûl Fiqh masih berada pada masa sahabat, masa imam madzhab, maupun pada masa ulama kontemporer saat ini.

 

  1. RUMUSAN MASALAH

1. Pengertian dan Kandungan Maqasid Al-Syariah?

2. Bagaimanakah Maqasid Al-Syariah Sebagai Tujuan Hukum Islam?

3. Pengertian Maslahah dan pembagiannya?

4. Seperti Apakah Konsep Maslahah Dalam Hukum Islam?

  1. PEMBAHASAN

1. Pengertian dan Kandungan Maqasid Al-Syariah

Maqashid al-syari’ah terdiri dari dua kata, maqashid dan syari’ah. Kata maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqshad yang berarti maksud dan tujuan, sedangkan syari’ah mempunyai pengertian hukum-hukum Allah yang ditetapkan untuk manusia agar dipedomani untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat. Maka dengan demikian, maqashid al-syari’ah berarti kandungan nilai yang menjadi tujuan pensyariatan hukum. Maka dengan demikian, maqashid al-syari’ah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum.[1]

Maqashid al-syari’ah mengandung pengertian umum dan pengertian khusus. Pengertian yang bersifat umum mengacu pada apa yang dimaksud oleh ayat-ayat hukum atau hadits-hadits hukum, baik yang ditunjukkan oleh pengertian kebahasaannya atau tujuan yang terkandung di dalamnya. Pengertian yang bersifat umum itu identik dengan pengertian istilah maqashid al-syari’ (maksud Allah dalam menurunkan ayat hukum, atau maksud Rasulullah dalam mengeluarkan hadits hukum). Sedangkan pengertian yang bersifat khusus adalah substansi atau tujuan yang hendak dicapai oleh suatu rumusan hukum.

Kajian teori maqashid al-syari’ah dalam hukum Islam adalah sangat penting. Urgensi itu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut. Pertama, hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari wahyu Tuhan dan diperuntukkan bagi umat manusia. Oleh karena itu, ia akan selalu berhadapan dengan perubahan sosial. Dalam posisi seperti itu, apakah hukum Islam yang sumber utamanya (Al-Qur’an dan sunnah) turun pada beberapa abad yang lampau dapat beradaptasi dengan perubahan sosial. Jawaban terhadap pertanyaan itu baru bisa diberikan setelah diadakan kajian terhadap berbagai elemen hukum Islam, dan salah satu elemen yang terpenting adalah teori maqashid al-syari’ah. Kedua, dilihat dari aspek historis, sesungguhnya perhatian terhadap teori ini telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, dan generasi mujtahid sesudahnya. Ketiga, pengetahuan tentang maqashid al-syari’ah merupakan kunci keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya, karena di atas landasan tujuan hukum itulah setiap persoalan dalam bermu’amalah antar sesama manusia dapat dikembalikan.[2] Seorang pakar ushul fiqh, menyatakan bahwa nash-nash syari’ah itu tidak dapat dipahami secara benar kecuali oleh seseorang yang mengetahui maqashid al-syari’ah (tujuan hukum). Pendapat ini sejalan dengan pandangan pakar fiqh lainnya yang mengatakan bahwa pengetahuan tentang maqashid al-syari’ah merupakan persoalan dharuri (urgen) bagi mujtahid ketika akan memahami nash dan membuat istinbath hukum, dan bagi orang lain dalam rangka mengetahui rahasia-rahasia syari’ah.

  1. Maqasid Al-Syariah Sebagai Tujuan Hukum Islam

Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa yang menjadi bahasan utama dalam maqashid al-syari’ah adalah hikmah dan illat ditetapkan suatu hukum. Dalam kajian ushul fiqh, hikmah berbeda dengan illat. Illat adalah sifat tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara objektif (zahir), dan ada tolak ukurnya (mundhabit), dan sesuai dengan ketentuan hukum (munasib) yang keberadaannya merupakan penentu adanya hukum. Sedangkan hikmah adalah sesuatu yang menjadi tujuan atau maksud disyariatkannya hukum dalam wujud kemaslahatan bagi manusia.

Maqasid tersebut dianggap sebagai barometer untuk menentukan apakah suatu masalah itu termasuk maslahat (kebaikan) atau mafsadat (keburukan), yang itu harus ditinjau dari maqashid atau maqshad atau tujuan dari ketentuan yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Para ulama kemudian menyimpulkan bahwasanya maqasid itu ada lima :

  1. Maqashid hifzhud-din, yaitu tujuannya adalah menjaga agama. Salah satu contohnya adalah dianjurkannya kita berjihad ketika jihad itu memang diperlukan untuk menjaga agama. Sebab kalau tidak, umat Islam mungkin akan dibantai sehingga akan habis. Kalau pemeluk agama Islam habis, maka agama Islam juga akan habis. Namun kadang kita mengartikan jihad itu seenaknya saja, padahal jihad adalah suatu ketentuan yang sangat sakral dan sangat mulia.
  2. Maqashid hifzhun-nafsi, yaitu menjaga diri. Tujuan syari’ (tujuan Allah) menentukan suatu ketentuan hukum adalah untuk menjaga diri. Misalkan mengenai ketentuan qishash. Qishash adalah membunuh seseorang yang memang sudah layak untuk dibunuh. Ketika ada seseorang yang membunuh tanpa adanya kejelasan, sehingga perbuatannya tersebut merupakan perbuatan yang sangat salah, maka hukum terhadap orang yang membunuh tersebut adalah qishash. Ditentukan dan dianjurkannya qishash ini pada prinsipnya adalah menjaga diri. Mengapakah qishash itu dianggap menjaga diri, sedangkan qishash itu sendiri merupakan membunuh? Allah menyatakan, bahwasanya qishash itu adalah hayaatun ya ulil albab (qishash itu adalah kehidupan bagi kalian). Mungkin jika suatu saat kita sedang berada di Saudi Arabia, maka akan begitu terasa bahwa qishash merupakan suatu kehidupan. Biasanya pada hari Jum’at setelah Imam mengucapkan salam, maka tiba-tiba ada pengumuman, maka itu pasti akan diadakannya hukum qishash, atau paling tidak potong tangan ataupun rajam. Inilah dampak lahir dan batin dari hukum qishash yang kita lihat itu. Sehingga orang yang melihat pelaksanaan hukuman tersebut, maka akan tertahan untuk melakukan tindak pidana. Inilah yang dikehendaki oleh Allah, bahwa qishash itu sebetulnya merupakan kehidupan bagi umat manusia.
  3. Maqashid hifzhul-aqli, menjaga pikiran (akal) agar selalu jernih. Karena itu, disyariatkanlah ketentuan hukuman (had) bagi orang yang mabuk (baik itu karena minuman keras ataupun hal lain). Sehingga, tujuan dari mengapa orang yang mabuk itu dihukum adalah agar tidak melakukan hal tersebut, sehingga otak ini tetap jernih.[3]
  4. Maqashid hifzhun-nasab, yaitu menjaga keturunan. Menjaga keturunan yang dimaksud di antaranya menjaga nasab dalam bentuk perintah dan menjaga nasab dalam bentuk larangan. Menjaga nasab dalam bentuk perintah salah satunya adalah menikah. Jadi, menikah itu adalah ketentuan dan perintah Allah dan Rasul-Nya seperti juga ketentuan dalam perintah-perintah yang lainnya. Sehingga kalau ada orang yang mengatakan bahwa nikah itu hanya untuk meredam nafsu seksual, maka berarti orang tersebut tidak paham pada syariat, karena sesungguhnya nikah merupakan perintah Allah untuk menjaga keturunan, dalam hal ini tentunya keturunan yang terhormat. Dalam bentuk larangan yaitu ketentuan dilarangnya melakukan perzinahan dan dianjurkannya menghukum orang-orang yang berzinah.[4]
  5. Maqashid hifzhun-maal, menjaga harta. Ada yang berbentuk anjuran, yaitu seperti perintah untuk bekerja mencari nafkah yang halal, yang hal ini sama dengan ibadah yang diperintahkan seperti dalam bentuk salat. Tujuan dari diperintahkannya bekerja adalah untuk menjaga harta. Selain itu, ada juga dalam bentuk larangan, yaitu larangan bahkan dihukumnya orang-orang yang mencuri dengan cara dipotong tangannya.
  6. Itulah lima maqashid, yang kemudian disempurnakan lagi oleh para ulama menjadi enam, yaitu maqashid hifzhul-’irb, yaitu tujuan menjaga kehormatan. Sehingga dalam hal ini, misalkan dilarang dan dihukumnya orang-orang yang melakukan qadhab dan li-an. Qadhab adalah menuduh orang lain berzina. Seseorang yang menuduh orang lain berzina yang itu tanpa adanya empat orang saksi, maka orang tersebut (orang yang menuduh) harus dihukum. Sehingga seseorang tidak seenaknya saja menuduh orang lain berzina. Kalau tuduhan tersebut kepada istrinya, maka dinamakan lian. Jika menuduh orang lain berzina yang kemudian tidak bisa membuktikan dengan empat orang saksi, maka orang yang menuduh tersebut akan dijatuhi hukuman cambuk. Mengapa seperti ini? Karena kehormatan orang Islam itu terjaga, tidak seenaknya saja menuduh orang lain melakukan perbuatan yang tidak terhormat. Bagi seorang suami yang menuduh istrinya melakukan perbuatan zina, maka si suami yang menuduh tersebut harus bisa membuktikan dengan bersumpah empat kali sebagi ganti dari empat orang saksi. [5]Kalau bersumpah atas nama Allah, maka ganjarannya adalah surga dan neraka. Kalau bersumpah tidak dengan nama Allah, misalkan demi langit dan bumi, maka orang tersebut kafir. Jadi, konsekuensi bersumpah itu sangat berat. Sehingga orang yang dimintai sumpahnya itu sebetulnya jauh lebih berat daripada menghadirkan saksi.

Peranan Maqashid al-Syari`ah Dalam Pengembangan Hukum saat ini, yaitu Pengetahuan tentang maqashid al-syari`ah seperti yang ditegaskan Abdul Wahab al-Khallaf adalah berperan sebagai alat Bantu untuk memahami redaksi al-qur`an dan sunnah, menyelesaikan dalil- dalil yang bertentangan, dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung dalam al-qur`an dan sunnah secara kajian kebahasaan .

Metode istinbat seperti qiyas, istihsan, dan maslahah al-mursalah adalah metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas maqashid al- syariah . qiyas misalnya baru bisa dilaksanakan  bila mana dapat ditemukan maqashid al-syari`ahnya yang merupakan alasan logis dari suatu hukum. Sebagai contoh kasus diharamkannya khamar dari hasil penelitian ulama ditemukan bahwa maqashid al-syari`ah diharamkannya khamar adalah karena sifa memabukkannya yang merusak akal. Dengan demikian yang menjadi alasan logis dari diharamkannya khamar adalah sifat memabukkannya, sedangkan khamar itu sendiri adalah salah satu contoh dari yang memabukkan. Dari sini dapat dikembangkan dengan metode qiyas bahwa setiap yang memabukkan adalah haram.

  1. Pengertian Maslahah dan Pembagiannya

Secara sederhana kata maslahah merupakan bentuk tunggal dari masaalih yang berasal dari kata kerja saluha, kata tersebut sering diartikan dengan kebaikan dan manfaat, sekalipun kata ini juga berbeda maknanya manakala di sandingkan dengan lafaz lain, misalnya di gandngkan dengan li, maknanya menjadi keserasian, begitupun ketika lafaz ini berposisi dengan kata kerja (fi’il) maka maknanya adalah penunjukan terhadap seseorang agar menjadi lebih baik, saleh, dan adil.

Sedangkan menurut istilah Maslahah mengandung arti kebaikan yang tidak ada dalam syara’ untuk mengerjakan atau meninggalkan hukum tersebut. Usaha dalam rangka tercapainya maslahah ini pada hakekatnya berasal dari dalil-dalil tafsili (terperinci) yang tidak bertentangan dengan hukum syara’. Dalam cakupan yang luas penggunaan maslahah ini menurut para ulama ushul fiqh di sebut dengan maslahah mursalah.[6]

Al-Ghazali (450-505 H/ 1057- 1111 M) memandang maslahah sebagai uasaha dalam rangka menarik manfaat atau menolak mudharat (kerusakan), alasan yang ia gunakan adalah berdasarkan dengan tujuan sang khaliq dalam rangka menciptakan kemaslahatan bagi makhluk

As-Syatii berpandangan bahwa maslahah pada hakekatnya di tetapkan oleh Syari’ yang memiliki tujuan untuk menjaga dan memperjuangkan tiga kategori hukum berupa primer (adlaruriyah), sekunder (hajiyat) dan komplementer (tahsiniyah).

Macam-macam maslahah berdasarkan tingkatannya, berdasarkan pandangan syar’i dan dalil-dalil nash serta untuk menjaga maqashid al-syari’ah, para ulama menggolongkan maslahah menjadi tiga tingkatan:

  1. Kemaslahatan dharuriyyah (inti/pokok); kemaslahatan maqasid syri’ah yang berada dalam urutan paling atas.

Kemaslahatan inti/pokok yang di sepakati dalam semua syariat tercakup dalam lima hal, seperti yang di hitung dan sebut oleh para ulama dengan Nama al-kulliyat al-khams (lima hal inti/pokok) yang mereka anggap sebagai dasar-dasar dan tujuan umum syariat yang harus di jaga. Lima inti/pokok yaitu:

  1. Menjaga agama (Hifdz Ad-Din)
  2. Menjaga jiwa (Hifdz An-Nafs)
  3. Menjaga Akal (Hifdz Al-Aql)
  4. Menjaga harta (Hifdz Al-Aml)
  5. Menjaga keturunan (Hifdz An-Nafs)
  1. Kemaslahatan ghairu dharuriyyah (bukan kemaslahatan pokok); namun kemaslahatan ini di golongkan penting dan tidak bisa di pisahkan.

Kategori kedua merupakan maslahat yang tidak inti dan kemaslahatan ini di bagi lagi menjadi dua, yaitu:

  1. Hajjiyah (Bersifat kebutuhan), yakni kemaslahatan kebutuhan yang di butuhkan manusia untuk melakukan pekerjaan dan memperbaiki peghidupan mereka.[7]
  2. Tahsini (bersifat perbaikan), yakni kemaslahatan yang merujuk kepada moral dan etika, juga semua hal yang bisa menyampaaikan seseorang menuju Muru’ah dan berjalan di atas metode yang lebih utama dan jalan yang lebih baik. Kebutuhan tahsiniyah/ Kamaliyat (Pelengkap) adalah tindakan atau sifat-sifat yang pada prinsipnya behubungan dengan al-mukarim al-akhlaq, serta pemeliharaan tindakan-tindakan utama dalam bidang ibadah, adat dan mu’amalat. Artinya seandainya aspek ini tidak terwujud, maka kehidupan manusia tidak akan terancam kekacauan, seperti kalau tidakan terwujud aspek dharuriyat dan juga tidak akan membawa kesusahan seperti tidak terpenuhinya aspek hijayat.

Kebutuhan tahsiniyat ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak dipenuhi mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok diatas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan Al-Syatibi, hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak[8]

Beberapa macam maslahah berdasarkan pandangan syari’, berdasarkan adanya pengakuan dan penolakan dalil terhadap suatu maslahah, maka para ulama membagi maslahah menjadi tiga macam, yakni:

  1. Maslahah Mu’tabaroh, yaitu kemaslahatan yang diakui oleh syari’ dan terdapat dalil yang menetapkannya. Maslahah ini dapat dijadikan hujjah hukum, tidak diragukan lagi keabsahannya, serta tidak ada perselisihan dalam mengamalkannya. Pengamalan maslahah ini disebut qiyas.[9]
  2. Maslahah Mulghoh, yaitu maslahah yang tidak didukung oleh syar’i, akan tetapi ditolak dan ditentang oleh syar’i. Artinya tatkala nash menghukumi suatu peristiwa karena adanya kemslahatan di dalamnya, kemudian sebagian orang menghukumi peristiwa tersebut dengan merubah ketetapan syar’i karena kemaslahatan yang mereka perkirakan (wahm). Hukum semacam ini ditolak, karena maslahah yang mereka perkirakan tesebut ditentang oleh syar’i. Penetapan suatu hukum tidak dapat didasarkan pada maslahah terebut karena hal itu bertentangn dengan maqashid al-syari’ah.
  3. Maslahah Mursalah, yaitu maslahah yang tidak ditemukan dalil yang mendukungnya dan tidak ada pula yang menentangnya. Suatu peristiwa yang belum terdapat hukumnya di dalam nash, dan tidak ada pula ‘illat yang dapat diqiyaskan dengan nash, akan tetapi terdapat sesuatu yang sesuai dengan nash dalam pensyari’atannya, artinya pensyari’atan hukum tersebut dapat mendatangkan kemaslahatan atau manfaat dan menolak kemadharatan, yang kemudian hal ini oleh para ulama diistilahkan dengan mashalih al-mursalah. Dinamakan maslahah karena mendatangkan manfaat dan kebaikan serta menolak kemadharatan; dan dinamakan mursalah karena tidak terdapat nash (dalil) [10]yang mendukung ataupun menentangnya. Jadi pada hakikatnya maslahah mursalah adalah segala sesuatu yang mendatangkan kemanfaatan yang telah termaktub dalam maqashid al-syari’ akan tetapi tidak didukung oleh adanya dalil.
  4. Konsep Maslahah Dalam Hukum Islam

Dalam ushul fiqh terdapat konsep maslahah yang di hasilkan dari rumusan kedua nash, secara umum kemslahatan itu dalam rangka untuk menolak kerusakan lebih utama  dari pada menarik kemaslahatan.

Ukuran kemaslahatan pada hakekatnya dapat dilihat dari ketentuan nash dan manusia. Ketentuan yang ada dalam syara’ pada hakekatnya memberikan nilai maslahah tersendiri bagi manusia, walau kemaslahatan itu hanya tuhan yang tahu, sedangkan kemaslahatan yang berdasarkan pada ukuran manusia senantiasa akan selalu berbeda-beda dan berdasarkan pada keinginan mereka sendiri.

  1. Syariah

Menurut As-syatibi syari’ah ialah sebagai aturan-aturan bagi orang mukalaf, baik mengenai perbuatan, ucapan maupun keyakinan mereka.

Ada dua macam perundang-undangan dalam hukum islam, yaitu :

  • Perundang-undangan yang berasal dari tuhan melalui wahyu berupa alquran dan ketentuan yang bersumber pada hadist nabi, ulama ushul menyebutnya dengan tasyri’ al-ilahiy.
  • Tasyri’ al-wadhi’y yaki perundang-undangan yang bersumber dari hasil ijtihad para ulama untuk menetapkan ketentuan hukum tersebut, usaha para ulama tidak lepas dari istimbath al-hukum yang berdasarkan dari kedua nash.

Tujuan  dari tebentuknya syari’ah itu sendiri ialah untuk terwujudnya kebaikan baik di dunia maupun di akhirat. Maqasid as-syari’ah meghasilkan formulasi maslahah yang kemudian dapat dikategorikan ke dalam tiga hal yaitu: kebutuhan primer (adlaruriyyah), sekunder (hajiyyat), dan komplementer (tahsiniyah). Dari tiga unsur tersebut merupakan segala hal yang berkaitan dengan manusia.

  1. Fiqh

Hukum dalam Fiqh memiliki sifat yang dinamis, yakni akan dapat berubah sesuai dengan kondisi yang berkembang. Fiqh dalam hal ini sebagai langkah mengaktualisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam syari’ah atau ajaran formal berdasarkan pada pemahaman dari syari’ah. Syari’ah tidak dapat dijalankan baik tanpa dipahami melalui fiqh atau pemahaman yang memadai, dan diformulasikan secara baku.

  1. KESIMPULAN

Jadi dengan demikian dapat simpulkan bahwa, maqashid al-syari’ah berarti kandungan nilai yang menjadi tujuan pensyariatan hukum. Maqashid al-syari’ah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum. Maqasid tersebut dianggap sebagai tolak ukur untuk menentukan apakah suatu masalah itu termasuk kebaikan atau keburukan, yang harus ditinjau dari tujuan dan ketentuan yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Macam-macam maslahah berdasarkan tingkatannya ada dua, pertama, kemaslahatan dharuriyyah (inti/pokok) yang digunakan sebagai dasar-dasar tujuan umum syariat. Kedua, kemaslahatan ghairu dharuriyyah (bukan kemaslahatan pokok); namun kemaslahatan ini di golongkan penting dan tidak bisa di pisahkan karena sebagai pelengkap maslahah dharuriyyah.

DAFTAR PUSTAKA

Al-badawi , Yusuf Ahmad Muhammad. 2000. ‘’aqasid al sari’ah Inda Ibn Taimiyah’’(Cet 1 Darrun Nafais)

Jaya , Asafri. 1996. ‘’Konsep Maqashid al-Syari’ah Menurut al-Syathi’i’’. (Jakarta: Raja Grafindo Persada)

Jauhar, Ahmad Al-Mursi Husain. 2010. ‘’maqashid syariah’’.(Jakarta: Sinar Grafika Offset)

Khallaf, Abd al-Wahab. 1968. ‘’Ilmu Ushul Al-Fiqh’’. (Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah)

Memahami Hubungan Maslahah Mursalah Dan Maqasid Syari’ah Dinarfirst.html

Praja , Juhaya S. fiisafat hukum islam, (Bandung: LPPM Universitas Bandung, 1995)

[1] Asafri Jaya, Konsep Maqashid al-Syari’ah Menurut al-Syathibi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996).  hal 5

[2] Abd al-Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, 1968). hal 198

[3] Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, maqashid syariah,(Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010). Hal 91

[4] Ibid hal 167

[5] Ibid hal 131

[6] Juhaya S. Praja, fiisafat hukum islam, (Bandung: LPPM Universitas Bandung, 1995). Hal 101

[7] Yusuf Ahmad Muhammad Al-badawi, maqasid al sari’ah Inda Ibn Taimiyah, (Cet 1 Darrun Nafais, 2000). Hal 66

[8] Ibid. Hal 3

[9] Memahami Hubungan Maslahah Mursalah Dan Maqasid Syari’ah Dinarfirst.html. di akses pada tanggal 07/03/2015

[10] Memahami Hubungan Maslahah Mursalah Dan Maqasid Syari’ah Dinarfirst.html. di akses pada tanggal 07/03/2015

Tinggalkan komentar